IMM sayap dakwah Muhammadiyah
Oleh : Dani Fadillah, S.I.Kom (Ketum PC IMM Kab. Sleman 2010-2011)
Pada tanggal 14 Maret, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah genap berusia 47 tahun. Jika diumpamakan sebagai manusia maka usia ini normalnya telah cukup makan asam garam dalam mengarungi hidup. IMM dapat dikatakan bukanlah sebuah organisasi kemahasiswaan biasa, dari nama yang disandangnya jelas terlihat bahwa IMM adalah organisasi yang berada di bawah naungan Muhammadiyah, bahkan secara resmi Muhammadiyah mengakui bahwa IMM adalah “anak kandungnya”, terbukti dengan menjadikan IMM sebagai salah satu organisasi otonom (ortom) milik Muhammadiyah.
Kemudian satu pertanyaan terucap, masih mampukah IMM saat ini menanggung beban berupa nama besar Muhammadiyah di punggungnya? Pertanyaan ini terlontarkan tak lain disebabkan dengan kenyataan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi dakwah Islam yang menyebarkan spirit amar ma’ruf nahi munkar ke seluruh pelosok negeri, dan untuk menjalankan misinya itu maka yang dibutuhkan Muhammadiyah adalah sebuah perkaderan yang optimal untuk menghasilkan para penerus perjuangan persyarikatan, dimana tentu saja dalam proses perkaderan itu berlangsung dalam tubuh ortom, termasuk IMM di dalamnya. Bila kita belajar dari sejarah, jauh sebelum didirikannya IMM, tokoh-tokoh terkemuka Muhammadiyah pada masa itu, KH Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, dan H Agus Salim, membentuk sebuah organisasi kepemudaan yang dikenal dengan nama Jong Islamieten Bond (JIB) yang memiliki misi untuk mempelajari agama Islam dan mengamalkannya, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, serta mengembangkan toleransi terhadap agama maupun ideologi lain. Dengan terbentuknya JIB ini, seorang peneliti Barat, John Ingelson, sampai mengatakan bahwa posisi JIB sangat sentral dan vital untuk membendung arus sekulerisasi dan westernisasi yang secara sistematis dilakukan oleh penjajah Belanda. Maka tidak salah jika KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan menyerahkan kepercayaan pada JIB agar dapat melahirkan para intelektual muslim yang menguasai basis-basis pengilmuan Islam secara matang agar dapat melanjutkan gerakan Muhammadiyah selaku organisasi dakwah.
Setelah kita sejenak melihat sejarah, bandingkan JIB waktu itu dengan IMM saat ini. IMM sebagai ortom yang dipercaya oleh Muhammadiyah untuk mematangkan kader-kader persyarikatan dari lingkungan mahasiswa yang notabene adalah kaum muda yang masih memiliki semangat tinggi dalam berdakwah, masihkah mampu menjalankan tugasnya? Sebab jelas terlihat bahwa dengan tidak jarang munculnya konflik kepentingan yang mengarah pada pragmatisme dalam tubuh IMM, yang sampai menyingkirkan dan mungkin sampai melupakan statusnya sebagai sayap dakwah Muhammadiyah di kalangan mahasiswa, maka jangankan di Perguruan Tinggi non Muhammadiyah (non-PTM), di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) pun IMM bisa sampai kehilangan kepercayaan sebagai organisasi sayap dakwah Muhammadiyah yang dapat melahirkan intelektual muslim dengan berbagai pengilmuan Islamnya.
Lihat saja ketika ada pertemuan-pertemuan besar seperti tanwir maupun muktamar, suasana yang muncul sering sekali kelewat politis dan sepi kajian keislamannya. Sesi-sesi yang dirancang untuk kajian keislaman minim peminat dan sepi bagaikan kuburan. Akan tetapi ketika bagian pemilihan ketua umum, para pesertanya bagaikan sudah terlatih sedemikian rupa dengan kiat-kiat dan manuver politiknya, bahkan ada yang politicking atau politik dagang sapi layaknya partai politik. Tanpa sadar bahwa fenomena ini melahirkan kejenuhan pada diri angkatan baru muslim muda, yang akhirnya lahirlah hukum besi sejarah: membentuk wadah-wadah baru yang dinilai lebih bisa merelevansikan nilai-nilai keislaman dan terbebas dari berbagai kepentingan! Persis seperti berdirinya JIB.
Walhasil gerakan kajian Islam di kampus-kampus seperti majelis ta’lim atau lembaga dakwah masjid kampus jauh lebih memiliki paralelisme dengan JIB yang dibangun oleh tokoh-tokoh pendiri Muhammadiyah daripada IMM yang notabene adalah anak kandung Muhammadiyah itu sendiri. Artinya mereka (kelompok kajian Islam kampus non IMM), baik yang ada di PTM maupun non PTM, lebih memiliki kepekaan terhadap tantangan Islam, lebih memiliki spirit perjuangan, dan beretos perlawanan terhadap sekulerisasi dan westernisasi, dan IMM terlalu asyik berpolitik di dalam menara gading. Tegasnya, mereka yang “bukan siapa-siapa” justru lebih ketat dengan cita-cita Muhammadiyah daripada IMM yang diakui sebagai anak kandung oleh Muhammadiyah.
Maka sudah saatnya bagi para aktivis IMM untuk mengakhiri segera bentuk politisasi dalam tubuh ikatan, menciptakan sebuah stabilitas demi tercapainya tujuan yang diembankan ke pundak IMM oleh Muhammadiyah jauh lebih penting daripada perjuangan untuk mempertahankan politik kepentingan yang mengarah pada pragmatisme dalam tubuh ikatan. Lebih dari itu, dalam dinamika nasional IMM pernah sebegitu solidnya tanpa ada konflik kepentingan, berperan besar dalam sejarah nasional dengan spirit dakwah di dalamnya. Maka alangkah sayangnya jika hal itu hanya menjadi romantisme sejarah yang tidak bisa terulang lagi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar